Rabu, 23 Oktober 2013

SANTRI (ANTARA REALITAS DAN IDEALITAS)


by: el-ma crew

 Dalam berbagai bidang, santri dituntut untuk memecahkan permasalahan (problem solving) khususnya masalah keagamaan (Syari’at Islam) dalam masyarakat. Terkadang kita banyak menemui kendala dalam menghadapi suatu permasalahan yang ada. Satu sisi santri dituntut untuk mampu dan memberi contoh sosok yang akhlakul karimah. Di sisi lain, seorang santri mampu memberikan solusi yang tidak rigid (kaku) dalam suatu permasalahan yang dihadapinya.




Dalam pesantren yang notabennya, kawah candradimuka (tempat penggemblengan) bagi santri untuk menimba seluruh kajian intelektualnya dan sering bersetubuh dengan kitab-kitab kuning maka keilmuan santri sangat diharapkan di dalam pergaulan masyarakat. Mental seorang santri tidak harus kalah dengan seseorang yang sudah menempuh jenjang pendidikan S1, S2, bahkan S3 sekalipun. Mengapa mental santri harus demikian? karena pendidikan formal yang ada tidak mengajarkan atau memberi keilmuan tentang tata krama atau unggah-ungguh (dalam bahasa Jawa), tentang bagaimana bertuturkata di hadapan umum, dll. Dalam pesantren, santri 24 jam tetap disuguhkan tentang wacana-wacana keilmuan mulai dari pagi sampai malam dan selalu dibimbing oleh Kyai. Seperti orang Jawa bilang : santri iku diibaratke kaya  endhog seng saben dina diangkremi”. Itulah keunggulan santri, dimana tidak ada satupun pendidikan formal yang mengajarkan hal seperti itu. Dalam kurikulum pelajarannya tidak ada satupun yang tidak memakai Kitab Kuning (sebutan kitab dalam pesantren).
Secara teori, santri bisa dikatakan sederhana dalam kehidupannya. Bukan berarti secara keilmuan juga harus sederhana, tetapi juga harus bisa bersaing dengan pendidikan formal.
Dalam bidang fiqh misalnya, seorang santri harus fasih dan menguasai hukum-hukum Islam atau paling tidak mampu mentafsirkan ayat-ayat yang berhubungan dengan syari’at Islam. Tapi realitanya, seorang santri  apabila sudah terjun dalam masyarakat dan berjuang sering mengalami gagap dalam menjawab pertanyaan. Apalagi pertanyaan tersebut, jawabannya belum ditemukan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dan dalam kitab-kitab yang telah dipelajari dalam pesantren. Inilah tantangan seorang santri yang hidup di zaman globalisasi ini.
Kehidupan santri saat ini memang penuh tantangan dibanding kehidupan santri waktu zaman perjuangan melawan kolonial. Dahulu santri angkat senjata untuk mengusir penjajah dari bumi pertiwi ini. Tapi tidak kalah beratnya, santri saat ini harus berperang lewat ilmu pengetahuan dan wacana tentang keintelektualan. Tugas santri bukan hanya dakwah tapi juga memberikan formulasi dan kajian-kajian Islam untuk menambah khazanah keilmuan.   
Era globalisasi saat ini banyak sekali masalah kontemporer yang belum ditemukan jawabannya dan tidak ada pembahasannya dalam al-Qur’an, as-Sunnah dan kitab-kitab. Seperti aborsi, euthanasia (mempercepat kematian dalam bidang kedokteran), Bank air susu ibu (ASI), Bank sperma, dan lain-lain. Masalah-masalah tersebut adalah juga tanggung jawab seorang santri dalam menjawab tantangan zaman. Seorang santri haruslah berpandangan, bahwasanya tidak ada suatu permasalahan yang tidak ada solusinya.
Betapa pentingnya wacana kelimuan santri harus up to date agar mampu bersaing dengan sarjana-sarjana formal. Dapat di ambil kesimpuan, bahwa prioritas yang dibenarkan dalam agama adalah prioritas ilmu atas amal. Ilmu itu harus didahulukan atas amal, karena ilmu merupakan petunjuk dan pemberi arah amal yang akan dilakukan. Dalam hadits Mu’adz disebutkan, “Ilmu itu pemimpin, dan amal adalah pengikutnya.”  
Seharusnya keunggulan santri bukan hanya terletak pada keilmuan agama, melainkan bagaimana seorang santri bisa berinteraksi dengan sosial dan mempunyai daya intelektual yang mumpuni. Satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwasanya: ilmu agama tanpa ilmu umum akan mengakibatkan seseorang tersesat, begitu pula sebaliknya.”         
Santri harus fleksibel dalam menghadapi permasalahan-permasalahan kontemporer dan jangan tergesa-gesa untuk menjudge bahwa semua aturan yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah adalah bid’ah. Seorang santri harus memahami betul perkataan Imam Syafi’i : “pendapat kita benar dan pendapat orang lain adalah salah, tapi tidak menutup kemungkinan pendapat orang lain benar dan pendapat kita salah.”




Tidak ada komentar:

Posting Komentar