by: el-ma crew
Dalam berbagai bidang, santri dituntut untuk memecahkan permasalahan (problem solving) khususnya masalah keagamaan (Syari’at Islam) dalam masyarakat. Terkadang kita banyak menemui kendala dalam menghadapi suatu permasalahan yang ada. Satu sisi santri dituntut untuk mampu dan memberi contoh sosok yang akhlakul karimah. Di sisi lain, seorang santri mampu memberikan solusi yang tidak rigid (kaku) dalam suatu permasalahan yang dihadapinya.
Dalam pesantren yang notabennya, kawah
candradimuka (tempat penggemblengan) bagi santri untuk menimba seluruh
kajian intelektualnya dan sering bersetubuh dengan kitab-kitab kuning
maka keilmuan santri sangat diharapkan di dalam pergaulan masyarakat. Mental
seorang santri tidak harus kalah dengan seseorang yang sudah menempuh jenjang pendidikan
S1, S2, bahkan S3 sekalipun. Mengapa mental santri harus demikian? karena
pendidikan formal yang ada tidak mengajarkan atau memberi keilmuan tentang tata
krama atau unggah-ungguh (dalam bahasa Jawa), tentang bagaimana
bertuturkata di hadapan umum, dll. Dalam pesantren, santri 24 jam tetap
disuguhkan tentang wacana-wacana keilmuan mulai dari pagi sampai malam dan
selalu dibimbing oleh Kyai. Seperti orang Jawa bilang : “santri
iku diibaratke kaya endhog seng saben
dina diangkremi”. Itulah keunggulan santri, dimana tidak ada satupun
pendidikan formal yang mengajarkan hal seperti itu. Dalam kurikulum
pelajarannya tidak ada satupun yang tidak memakai Kitab Kuning
(sebutan kitab dalam pesantren).
Secara teori, santri bisa dikatakan
sederhana dalam kehidupannya. Bukan berarti secara keilmuan juga harus
sederhana, tetapi juga harus bisa bersaing dengan pendidikan formal.
Dalam bidang fiqh misalnya, seorang
santri harus fasih dan menguasai hukum-hukum Islam atau paling tidak mampu
mentafsirkan ayat-ayat yang berhubungan dengan syari’at Islam. Tapi realitanya,
seorang santri apabila sudah terjun
dalam masyarakat dan berjuang sering mengalami gagap dalam menjawab pertanyaan.
Apalagi pertanyaan tersebut, jawabannya belum ditemukan dalam al-Qur’an dan
as-Sunnah dan dalam kitab-kitab yang telah dipelajari dalam pesantren. Inilah
tantangan seorang santri yang hidup di zaman globalisasi ini.
Kehidupan santri saat ini memang
penuh tantangan dibanding kehidupan santri waktu zaman perjuangan melawan
kolonial. Dahulu santri angkat senjata untuk mengusir penjajah dari
bumi pertiwi ini. Tapi tidak kalah beratnya, santri saat ini harus berperang
lewat ilmu pengetahuan dan wacana tentang keintelektualan. Tugas santri bukan
hanya dakwah tapi juga memberikan formulasi dan kajian-kajian Islam untuk
menambah khazanah keilmuan.
Era globalisasi
saat ini banyak sekali masalah kontemporer yang belum ditemukan jawabannya dan
tidak ada pembahasannya dalam al-Qur’an, as-Sunnah dan kitab-kitab. Seperti aborsi, euthanasia
(mempercepat kematian dalam bidang kedokteran), Bank air susu ibu (ASI), Bank
sperma, dan lain-lain. Masalah-masalah tersebut adalah juga tanggung jawab
seorang santri dalam menjawab tantangan zaman. Seorang santri haruslah
berpandangan, bahwasanya tidak ada suatu permasalahan yang tidak ada solusinya.
Betapa pentingnya wacana kelimuan
santri harus up to date agar mampu bersaing dengan
sarjana-sarjana formal. Dapat di ambil kesimpuan, bahwa prioritas yang
dibenarkan dalam agama adalah prioritas ilmu atas amal. Ilmu itu harus
didahulukan atas amal, karena ilmu merupakan petunjuk dan pemberi arah amal
yang akan dilakukan. Dalam hadits Mu’adz disebutkan, “Ilmu itu pemimpin,
dan amal adalah pengikutnya.”
Seharusnya keunggulan santri bukan
hanya terletak pada keilmuan agama, melainkan bagaimana seorang santri bisa
berinteraksi dengan sosial dan mempunyai daya intelektual yang mumpuni. Satu
hal yang perlu digarisbawahi, bahwasanya: “ilmu agama tanpa ilmu umum akan
mengakibatkan seseorang tersesat, begitu pula sebaliknya.”
Santri harus fleksibel dalam
menghadapi permasalahan-permasalahan kontemporer dan jangan tergesa-gesa untuk
menjudge bahwa semua aturan yang tidak terdapat dalam al-Qur’an
dan as-Sunnah adalah bid’ah. Seorang santri harus memahami betul perkataan Imam
Syafi’i : “pendapat kita benar dan pendapat orang lain adalah salah, tapi
tidak menutup kemungkinan pendapat orang lain benar dan pendapat kita salah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar